Rabu, 28 Maret 2012

FIQIH MAWARIS

Pembagian Harta Waris di Desa Plampang Rejo, Rt 002 Rw 003, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi.

 

Dalam penelitian ini akan dijelaskan bagaimana cara masyarakat plampang rejo dalam membagi harta waris, apakah menggunakan cara yang telah diajarkan dalam islam atau dengan cara adat istiadat masyarakat plampang rejo?

Tapi, sebelum menjelaskan mengenai cara masyarakat plampang rejo dalam membagi harta waris, akan dijelaskan terlebih dulu mengenai pengertian dan cara pembagian harta waris dalam ajaran islam.

Kata  mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats artinya warisan.  Mawaris dapat juga disebut faraid, bentuk jamak dari kata faridah. Kata ini berasal dari kata farada yang artinya ketentuan, atau menentukan. Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.

Dalam pembagian harta waris juga terdapat syarat dan rukunnya, adapun rukunnya yaitu; Al- Muwarris adalah orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Al- Waris atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahaya. Al-Maurus atau al-miras adalah harta peninggalan si mati dan telah dikurangi biaya perawatan jenajah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat. Dan sebab-sebab untuk memperoleh warisan adalah hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan, dan hubungan karena memerdekakan hamba sahaya.

Dalam penelitan mengenai pembagian harta waris ini di dapatkan informasi bahwa di desa plampang rejo masih menggunakan cara adat walaupun ada yang menggunakan cara yang diajarkan dalam islam itu hanya satu keluarga yang menginginkan menggunakan pembagian warta waris dengan cara yang telah diajarkan dalam islam. Dan tentunya pembagian harta warisdengan cara adat tidak ada perbedaan jumlah bagian harta yang diberikan antara laki-laki dan perempuan. Di dalam fiqih mawaris dijelaskan bahwa perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki (laki-laki dua kali lebih banyak dari perempuan).

Dari penelitian di desa plampang rejo mengenai pembagian waris dapat diambil contoh sebagai berikut:

Data ini diperoleh dari Bapak Basuni sebagai pegawai desa di desa plampang rejo berdasarkan cara adat.

1.     Keluarga Bapak Wajiran dan Ibu Srinatun

Anak : Hadi Suwitno

Hanik Budratin

Sareng

Harta yang diwariskan berupa sebidang tanah seluas 11/4 Hektar dibagi sama antara anak laki-laki dan perempuan, saksi dalam pembagian waris ini adalah Bapak Munawar (Pegawai Desa), Bapak Basuni (Pegawai desa) dan anak-anak yang diberi waris.

2.     Keluaraga Bapak Sarbini dan Ibu Juminem

Anak : Purnomo            

Supono

Sriyanah

Giyono

Giyanto

Sriyani

Suherman

Endang

Suyono

Supriyanto

Harta yang diwariskan berupa pekarangan seluas 3108 m2 dibagi sama antara anak laki-laki dan perempuan, saksi dalam pembagian harta waris ini adalah Bapak Basuni (pegawai desa), Supadi (wakil dari keluarga), dan Bapak Daroji (pegawai desa).

Data ini diperoleh dari Ulama’(tokoh agama) di desa plampang rejo Bapak H. Hambali berdasarkan cara dalam ajaran islam.

1.     Keluarga H. Umar dan Hj. Siti Rukhoyah

Anak : Hj. Siti Khodijah

Saimen

Hj. Sainem

H. feqeh

Gunawan

Harta yang diwariskan berupa sebidang sawah belum diketahui jelas mengenai luas sawah tersebut, dan dalam pembagiannya adalah laki-laki ½ Hektar dan perempuan ¼ Hektar.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa didesa plampang rejo masih menggunakan cara adat dalam pembagian harta waris walaupun ada yang berdasarkan cara dalam ajaran islam itu hanya terdapat satu keluarga.Dalam pembagian bagian harta waris tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu sama. Dan dalam pembagian harta waris Al-Muwarris mewasiatkan harta warisannya kepada pegawai desa atau ulama’ yang menjadi tokoh agama di desa itu yang menangani mengenai pembagian tidak kepada ahli waris yang masih ada hubungan kekerabatan, perkawinan dan karena memerdekakan hamba sahaya, dan tidak adanya surat bukti mengenai pencatatan waris.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis

 

Oleh Miftahul Jannah, Mahasiswi Al-Ahwal Al- Syakhsiyyah fakultas syariah UIN Malang.
Penelitian dilakukan pada tanggal 16 Maret 2012 bertempat di Kantor Desa Plampang rejo dan rumah Ulama’ (tokoh agama) di desa plampang rejo

 

 

Malang, 28 Maret 2012.

FILSAFAT HUKUM ISLAM

MAQASHID AL-SYARIAH

Maqashid al-Syariah atau al-maqashid al-syar’iyyah fi al-syari’ah atau maqashid min syar’i al-hukm berarti maksud atau tujuan disyariatkannya hukum Islam.

Untuk menjawab persoalan fikih kontemporer, pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan. Pengetahuan tersebut merupakan kunci keberhasilah ijtihad seorang mujtahid.

Berbeda dengan bidang Ibadah Mahdah, dalam bidang muamalah akal dapat mengetahui dan memahami makna dan rahasia pentasyriannya (ma’qulat al-ma’na).

 

Tiga level kepentingan:

1.     Daruriyah: kepentingan esensial yang jika tidak terpenuhi dapat mengancam eksistensi maslahah.

2.     Hajiyah: kepentingan yang pemenuhannya dapat menghindarkan manusia dari kesulitan.

3.     Tahsiniyah: kebutuhan untuk menunjang pelaksanaan aturan, menjaga etika dan kepatutan.

Ketika terjadi benturan antarmaslahah, kepentingan yang lebih tinggi harus didahulukan pelaksanaannya.

Contoh: 1. Daruriyah :Makan demi eksistensi

2. Hajiyah    :Makanan halal

3. Tahsiniyah: 4 sehat 5 sempurna

Panca Maslahah (perlindungan terhadap din, nafs, aql, mal dan ‘ird) didasarkan pada dalil nash qath’i sehingga status mereka juga qath’i.

Jika terjadi benturan di antara kelima maslahah tersebut, maka:

1.     Perlindungan terhadap agama didahulukan dari perlindungan terhadap jiwa.

2.                 Perlindungan terhadap jiwa didahulukan dari perlindungan terhadap akal; dan

3.     perlindungan terhadap akal didahulukan dari perlindungan terhadap harta.

4.     dan seterusnya.

 

HUBUNGAN MAQASHID AL-SYARIAH DENGAN METODE IJTIHAD

1.     Qiyas

Illat menjadi unsur terpenting dalam qiyas.Illat merupakan “tujuan dekat” sementara hikmah merupakan “tujuan jauh.”(Jumhur ulama usul fiqh)Yang dimaksud illat adalah hikmah itu sendiri, dalam bentuk maslahah dan mafsadah. (Al-Syatibi)Upaya penemuan illat dan hikmah, yg merupakan metode qiyas, merupakan upaya menangkap maslahah yang menjadi tujuan utama penetapan suatu hukum (maqasid al-syariah).

2.     Istihsan

Istihsan secara umum berarti berpaling dari penerapan ketentuan hukum yang ada kepada hukum lain yang bertentangan dengannya karena ada sebab lain yang menghendaki demikian.

Istihsan secara khusus berarti berpaling dari qiyas jali kepada qiyas khafi. Perpindahan itu terjadi karena pengaruh illat pada yang pertama kurang efektif, sementara pengaruh yang kedua lebih kuat meskipun tidak begitu tampak.

1. Istihsan bi al-nash, contoh: jual beli salam.

2. Istihsan bi al-maslahah

 

3.     Maslahah  Mursalah

Maslahah Mursalah merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Alquran dan Hadis. Metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.

Tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Semua hukum, baik yang diatur secara eksplisit dalam Alquran dan Hadis maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bermuara pada tujuan tersebut.

 

Jenis Maslahah

1.     Maslahah Mu’tabarah : Maslahah yang diungkapkan langsung dalam nash Al Quran maupun hadits.

2.     Maslahah Mulghah: Maslahah yang bertentangan dengan nash.

3.     Maslahah Mursalah: Maslahah yang tidak diungkapkan dalam nash dan juga tidak bertentangan dengannya.

 

4.     Sadd (Fath) al-Dzariah

Sadd al-Dzariah berarti menutup jalan. Metode ini digunakan oleh mujtahid dalam menetapkan larangan atas sesuatu yang pada awalnya boleh dilakukan.

Dua metode ijtihad pertama (qiyas dan istihsan) disebut sebagai metode ijtihad ta’lili, sementara dua metode terakhir (maslahah mursalah dan sadd al-dzariah) disebut sebagai metode ijtihad istislahi.

Keempat metode ijtihad tersebut digunakan untuk menelusuri aspek maslahat suatu hukum, yang merupakan tujuan penetapan hukum Islam.

 

 

 

PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

BAB I

 

PENDAHULUAN

 

A.    Latar belakang

Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama. Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya.

Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertidak egois. Sehingga apabila sifat tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak beraturan yang menyebabkan kehancuran.

Oleh karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban satu antar lainnya. Demi mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahterah. Sesuai dengan saran tujuan KUHP nasional

“Untuk mencegah penghambatan atau penghalang-halangan datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa indonesia, yaitu dengan jalan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu..”

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat. Sehingga sudah selayaknya kita tidak melakukan hal tersebut.

Bila kita ingin menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu. Sehingga dikemudian hari kita tidak salah dalam memilih sebuah perbuatan. Maka dirasa penting bagi kami untuk mengankat judul “Pengertian dan Unsur-Unsur Perbuatan Pidana”.

 

B.     Rumusan masalah

 

1.      Apakah itu perbuatan pidana?

2.      Apakah unsur-unsur perbuatan pidanayang disepakati oleh para sarjana?

3.      Adakah unsur-unsur perbuatan pidana yang tak disepakati oleh para sarjana?

 

C.     Tujuan

 

1.      Mengetahui definisi perbuatan pidana.

2.      Memahami unsur-unsur perbuatan pidana yang disepakati oleh para sarjana.

3.      Mengetahui unsur-unsur perbuatan pidana yang tak disepakati oleh para sarjana.

 

BAB II

 

PEMBAHASAN

 

A.    Perbuatan Pidana

Pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.[1]  Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.  Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kajadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.;/span>

Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undanagan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari ”perbuatan” tapi “tindak “ tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang . Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.

Contoh: U.U no. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum (pasal 127, 129 dan lain-lain.[2]

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunyaasas-asas hukum pidana di indonesia memberikan definisi “ tindak pidana”atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya  merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.[3]

Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.[4]

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:

1.      Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita  menggunakan istilah ini.

2.      Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana.Dan para ahli hukum lainnya.

3.      Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.

4.      Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.

5.      Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

6.      Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal 3).

7.      Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatnomdalam beberapa tulisan beliau.[5]

 

B.     Unsur Unsur Perbuatan Pidana yang Disepakati Oleh Para Sarjana

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya.[6] Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri.

Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana  sejumlah tiga sifat. Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).[7]

Duet Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld (terjadi karena kesalahan).[8]

Sementara itu, trio Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.[9] Sehingga perbuatan pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.

Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan diatas. Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.[10]

Dari kesemua rumusan diatas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu atau dua bahkan semua sarjana lenyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur  “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali Lamintang. Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.

 

1.      Handeling (perbuatan manusia)

 

Mekipun lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana.

 

Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia[11]

 

            Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat).[12] Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum.[13]

            Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat dipidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang dirumuskan dalam pasal 362 KUHP

 

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.[14]

 

            Terlihat dari pasal tersebut, seorang dapat diancam karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu).

            Seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan dari pasal 338 KUHP.[15]ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een nalaten atau niet doen.

            Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat dipidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal tersebut berdasar pada pasal 298 KUHPdt. Masalah ini haruslah di jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidanan.

            Kalau seorang anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua orang yang tidak mencegah kelaparannya, merapas nyawa anak itu. Dengan demikian lingkuangan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat dipidana hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.[16]

 

2.      Wederrechtjek (melanggar hukum)

 

Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama.[17] Maka haruslah dijelaskan ke-empat-nya.

a.       Sifat melawan hukum formal

Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka rumusannya adalah

1)      Mengambil barang orang lain

2)      Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum

b.      Sifat melawan hukum materil

Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan hukum”.[18]

            Seperti dipidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.

c.       Sifat melawan hukum umum

Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.

d.        Sifat melawan hukum khusus

Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum..”. Meskipun pada rumusan perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan tersebut. Dicontohkan dengan pasal 338 KUHP

 

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

 

Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin dari si pemilik atau tidak.

 

Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi menjadi dua. Pertama,  unsur melawan hukum yang objektif yaitu menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.[19] Hal ini digambarkan pada pasal 164 ayat 1 KUHP

 

(1)   Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

 

Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Maka ia melanggar atau melawan hukum yang objektif.

Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan hukum.

Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana diatas. Masih ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur atau rumusan-rumusan tersebut.

 

C.     Unsur Unsur Perbuatan Pidana yang Tidak Disepakati Oleh Para Sarjana

 

1.      Schuld (kesalahan)

Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undangan bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan untuk memperingan hukuman.[20] Asas “setiap orang dianggap tahu isi undang-undang” menekankan pentingnya mengetahui hukum. Sehingga seseorang tidak dengan mudah mengelak dari pelanggaran hukum dengan alasan tidak paham hukum.

Dengan berdasarkan asas tersebut, maka seorang dunilai berbuat kesalahan ketika melanggar hukum. Sedangkan secara mendasar dalam kesalahan ada dua pembagian, yaitu Pertama, opzet (kesengajaan) dan kedua, Culpa (kurang berhati-hati atau kelalaian).[21]

Cansil-christine membagi kesalahan kedalam empat kategori. Pertama, Doluis(kesengajaan) yang sama artinya dengan opzet. Kedua, Culpa (alpa, lalai). Ketiga, dolus generalis (kesengajaan tak tentu). Keempat, Aberratio Ictus (salah kena). Berikut akan kami paparkan satu persatu secara singkat.

 

a.       Dolus

Seperti dikemukakan diatas, dolus memiliki arti yang sama dengan opzet yaitu kesengajaan. Perlu diketahui bahwa kitab undang-undang hukum pidana tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan kesengajaan.[22]

Dalam hal ini pasangan cansil merumuskan bahwa kesengajaan merupakan suatu niat atau i’tikad diwarnai sifat melawan hukum, kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak.[23]

Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan itu tiga macam. Pertama, kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua, kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan keinsyafan suatu akibat pasti akan terjadi. Ketiga, kesengajaan disertai dengan keinsyafan akan adanya kemungkinan.[24]

 

b.      Culpa

Culpa atau ketidak sengajaan ialah berarti kesalahan pada umumnya.[25] Maka seorang hakim tidak bisa mengukur ketidak sengajaan atau kelalaian berdasar pada dirinya sendiri, melainkan melihat bagaimana hal umumnya pada masyarakat.

Ketidak sengajaan dibedakan antara ketidak sengajaan yang disadari dan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari bermakna menimbulkan delik tau perbuatan pidana secara sadar dan telah berusaha untuk menghalangi, akan tetapi terjadi juga. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari bermakna orang melakukan suatu delik tanpa membayangkan akibat yang terjadi atau tidak mengetahuinya.

 

c.       Dolus generalis

Hal yang mebedakan antara dolus generalis dan dolus atau opzet ialah dari tujuannya. Bila dolus dan opzet memiliki satu tujuan yang pasti, maka dolus generalis tak memiliki tujuan yang pasti.

Digambarkan dengan seseorang yang meracuni pusat air minum dengan maksud agar semua orang yang meminum air tersebut akan terbunuh. Tidak melihat siapa yang terbunuh.

 

d.      Aberratio Ictus

Seperti makna katanya, salah kena berarti akibat tidak sesuai dengan tujuan. Contoh sederhana seseorang yang akan menembak burung meleset dan mengenai manusia.

 

Terkait penjelasan macam kesengajaan ini, insya Allah akan didapati pada makalah kelompok ke-6.

 

2.      Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

Van hamel membagi hal ihwal ini menjadi dua.[26] Pertama, mengenai diri orang yang melakukan perbuatan. Dicontohkan dengan pasal 413 KUHP mengenai kejahatan jabatan.

 

Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaia mengabaikan untuk menggunakan kekuntan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang berwenang menurut undang-undang, diancam dengan pidana penjara lama empat tahun.

 

Dalam kejahatan ini haruslah ada unsur jabatan, sehingga tanpa adanya unsur ini maka tidak mungkin terjadi*kejahatan tersebut.

Kedua, mengenai di luar diri si pelaku. Seperti pasal 160 KUHP terkait pengahsutan.

 

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diherikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

 

Kejahatan tersebut memiliki unsur di muka umum. Maka tanpa adanya unsur ini kejahatan tersebut tak bisa dikatakan terjadi.

 

 

 

PENUTUP

 

KESIMPULAN

 

 

Perbuatan pidana adalahperbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undanagan. Adanya perbedaan pendapat mengenai penggunaan kata “tinad pidana” atau “perbuatan pidana”. Ada juga istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: Tindak Pidana, Peristiwa Pidana, Delik, Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan perbuataan pidana.

Perbuatan pidana memiliki beberapa unsur yang tanpa kehadiran unsur tersebut maka perbuatan pidana tidaklah bisa disebut sebagai delik atau perbuatan pidana. Pertama, perbuatan pidana merupakan perbuatan manusia. Kedua, bersifat melawan hukum. Kedua unsur inilah yang disepakati oleh hampir seluruh sarjana hukum.

Selain itu ada beberapa unsur penting yang meski tidak disepakati oleh seluruh sarjana, namun merupakan bagian penting dari perbuatan pidana. Pertama, kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian. Kedua, hal ihwal yang terdapat dalam rumusan KUHP yang tanpa adanya keadaan tersebut sebuah perbuatan pidana tidak dihitung pernah terjadi.

Daftar Pustaka

 

Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita, 2007

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru, 1992

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rieneka cipta, 2008

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana.Yogyakarta: LIBERTY, 1995

Prodjodikoro,Wirjono,  Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2008

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Grafindo Persda, 2002

 



[1] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), 54.

[2]Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 55.

[3]Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), 58

[4]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), 67

[5]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana,68

[6]Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, ,64

[7]Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1992), 173

[8]Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007),38

[9]Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, (Yogyakarta: LIBERTY, 1995), 27

[10]Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 69

[11]Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 183

[12]Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana

[13]Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana

[14]Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[15]Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 61

[16]Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, 33

[17]Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, 39

[18]Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, 23

[19]Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 68

[20]Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, 50

[21]Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 65

[22],span lang="IN">Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, 51

[23]Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana

[24]Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 66

[25]Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, 54

[26]Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 64